Senin, 09 Februari 2009

Akhir Sebuah Sandiwara Ayin

[Dimuat pertama kali di Harian Indonesia Business Today, 1 Agustus 2008 dengan judul Detik-detik Vonis Artalyta Suryani. Kemudian saya rombak, pada 24 Desember 2008, sesuai tulisan sebelum masuk ke redaktur dengan judul di atas. Pada berita aslinya, bagian terakhir menceritakan kepulangan Ayin dari Tipikor sampai Mabes Polri, ditulis oleh teman saya, Devi P, maaf saya tidak bisa mencantumkannya karena arsip beritanya hilang – korannya dijual ke tukang loak oleh Pakde saya.]


JAKARTA - GEDUNG Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan, masih terlihat sepi. Belum banyak pegawai yang datang. Jam menunjukkan 07.10 wib ketika Indonesia Business Today tiba. Sesekali ada pegawai berpakaian sipil tergesa-gesa menuju gedung yang dituju. Beberapa polisi berjaga-jaga di sekitar pos penjagaan.

Para Office Boy (OB) pun sudah memulai membersihkan sekitar gedung Bareskrim. Mereka keluar masuk gedung. Jam menunjukkan sekitar 07.30 wib, beberapa pegawai memasuki masjid, dekat gedung Bareskrim, melakukan sholat Dhuha.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil terparkir di depan gedung Bareskrim. Mobil Toyota Yaris, berplat nomor B 279 NN keluaran tahun 2007. Sedan pendek putih itu adalah milik menantu Artalyta Suryani atau Ayin (40), Lani Marisca (25). Ia adalah istri Romy Dharma Satriawan, anak Ayin. Ia datang untuk mendampingi ibu mertuanya pergi ke Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Hari ini (30/7) dijadwalkan pembacaan sidang vonis terhadap dirinya.

Sebelumnya, saat menjadi tersangka Ayin sempat menghuni rumah tahanan (rutan) Penjara Pondok Bambu. Tapi mulai 19 Mei 2008, dia dipindahkan ke rumah tahanan (rutan) Bareskrim Mabes Polri. Artalyta atawa Ayin terjerat dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II yang menyeret pengusaha pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Syamsul Nursalim. Dia berstatus terdakwa setelah terbukti melakukan suap sebesar US$ 660 ribu kepada jaksa Urip Tri Gunawan.

Berselang beberapa menit, sekitar jam 08.00 wib mobil tahanan KPK berplat nomor B 8593 WU tiba. Empat orang turun dari mobil. Dua orang berpakaian hitam-hitam, satu berpakaian hijau lengan panjang dan memakai peci, serta seorang petugas polisi.

Selama lebih kurang 30 menit di dalam gedung Bareskrim, Ayin keluar gendung dengan digandeng Lani. Ia memakai baju lengan panjang warna biru bermotif abstrak. Kemudian dipadu dengan jins biru dongker yang sampai menutup high heel-nya. Menantunya, hanya memakai pakaian hitam-hitam.

Mobil tahanan dan mobil pribadi menantunya telah siap di depan mereka. Muka Ayin dipenuhi senyum. Tak ada beban. Tetap bersolek rapi seperti kebiasaannya. Berbedak cukup tebal, sehingga kulit mukanya terlihat terlalu putih dibanding kulitnya. Alisnya masih seperti biasanya, kecil tapi melengkung tegas di atas matanya. Rambut merahnya dijepit dibagian belakang.

“Bu Ayin, katanya, Gus Dur datang di sidang hari ini ya,”? Indonesia Business Today, mencoba menanyakan perihal kedatangan Gus Dur yang kabarnya diminta datang oleh dirinya. Tidak ada jawaban. Tapi senyuman penuh diberikannya sambil tetap menggaandeng Lani.

“Untuk keperluan apa Gus Dur datang bu,”? kembali Indonesia Business Today, mencoba membuka pembicaraan. Sambil senyum dan melirik, meraih simpati, dirinya menjawab, “Maaf, saya tidak tahu beritanya”.

Ayin duduk di bagian tengah, sendiri. Petugas polisi di samping sopir di depan, dan ketiga lainnya di belakang. Mereka berangkat menuju Tipikor sekitar jam 09.39 wib. Tanpa pengawalan yang terlalu ketat.

JAM menunjukkan sekitar 09.10 wib. Mobil yang membawa Ayin dan menantunya dari Mabes Polri tiba di Pengadilan Khusus Tipikor. Sudah banyak yang berjaga-jaga. Dua mobil polisi ditaruh di depan pengadilan. Lebih kurang satu truk mampu menampung polisi sejumlah 45 orang. Secara keseluruhan, personil yang diambil dari Polsek Setia Budi, sebanyak 111 orang. Dan untuk cadangan 80 orang dikerahkan untuk berjaga-jaga sekitar pengadilan.

Pengadilan begitu sesak. Wartawan baik televisi, internet, maupun cetak tumpah ruah di sana. Begitu pula para pekerja dari perusahaan milik Ayin. Menurut, salah satu pekerja dari Atosim Lampung Pelayaran (ALP) jumlah yang datang hampir 500 orang. Termasuk dari pekerja PT Bukit Alam Surya (BAS) dan Bukit Samudra Perkasa (BSP) yang semuanya masih satu group usaha milik Ayin. Mereka datang mengawal dan mendukung Ayin dalam persidangan. Berangkat dari Lampung sejak subuh dan tiba di Jakarta sekitar pukul sembilan pagi.

Asap rokok mengepul agak pekat. Padahal tertera dengan jelas “Dilarang Merokok” dan “Kawasan Bebas Asap Rokok”. Entahlah, tidak diketahui dengan pasti apakah orang-orang dari pendukung Ayin yang memulai menyulut rokok. Tapi dari penglihatan Indonesia Business Today, banyak pendukung Ayin yang menyulut rokok.

Mereka merokok dengan tanpa beban, meski dalam ruang ber-AC. Sambil menuggu di luar ruang Khusus Terdakwa, mereka bergerombol di pojok ruangan sekitar toilet. Beberapa membentuk pagar betis, melindungi Ayin jika hendak keluar ruangan menuju ruang sidang.

Sesekali bertepuk tangan keras dan mengucapkan, “Bebas.Bebas”, ketika Otto Cornelis Kaligis, pengacara Ayin, keluar ruangan sambil berucap, “Bebas, kan?”

Ketika Indonesia Business Today, hendak mewawancarai orang yang “dituakan”, orang tersebut selalu saja berkelit dan tak mau menjawab setiap pertanyaan. Selalu beralasan dirinya bukan pekerjanya Ayin. Bahkan malah meledek Indonesia Business Today bahwa semua celah tidak bisa dimasuki wartawan. “Semua celah sudah kami tutup,” katanya.

Loyalitas mereka kepada Ayin ditunjukkan dengan sikap yang protektif. Ketika Ayin menuju toilet, mereka membentuk pagar pengamanan sampai Ayin memasuki ruang Khusus Terdakwa kembali. Tapi, loyalitas sepertinya berlinier dengan persoalan uang.

Indonesia Business Today, sempat mendengar perbincangan beberapa dari mereka. Sambil menyatukan beberap jarinya, sebagai simbol uang, mereka berbincang-bicang, bahwa kedatangan mereka juga karena mencari uang. “Mencari ini sambil menepukkan tangannya ke perutnya,” kata salah seorang darinya.

Indonesia Business Today, kemudian, mencoba beramah tamah dengannya, menepuk pundaknya dan mencoba menggali berapa duit yang dibayarkan padanya. Sayangnya, dirinya tak mau menjawab.

Di ruang Khusus Terdakwa, Ayin ditemani dua orang laki-laki, salah satunya

Romy Dharma Satriawan, OC Kaligis, dan Lani Marisca. Di meja ruang Khusus Terdakwa, tersaji tiga botol Aqua di depan Ayin. Tas merah berlapis warna emas ditaruh di sebelah kanannya. Senyumnya masih mengembang seperti di Mabes Polri. Sempat melambaikan tangan ke beberapa orang di luar ruang. Ruang tersebut memang diberi kaca yang lebar jadi semua orang bisa melihatnya. Para kameraman dan fotografer berkali-kali mengambil gambarnya. Beberapa pengawalnya juga beberapa kali mencegah orang-orang yang mendekati kaca.

Sesekali Ayin berbincang-bincang dengan OC Kaligis dan kemudian senyum kembali dan melihat ke arah luar rungan melalui kaca. Menantunya, Lani, malah asyik memainkan kamera saku digital. Dan kemudian, OC Kaligis berpose bersama menantunya untuk diambil gambar. Begitu pula dengan Romy. Cheese..klik!

TAMPAK di persidangan kerabat-kerabat Ayin. Banyak dari mereka yang peranakan Tionghoa. Sekitar pukul 10.45 wib Ayin menuju ruang persidangan. Pengawalan yang ketat. Kamera televisi mencoba mengambil gambar dari dekat. Cahaya dari fotografer berkali-kali berkilat menerpa wajah Ayin. Dirinya langsung menuju kursi terdakwa dengan membawa tas merahnya.

Ditaruhnya tas merah itu di belakang badannya dan duduk menghadap microphone. Ia mulai mendengarkan upacara sidang yang akan dibuka.

Ketua Majelis Hakim, Mansyurdin Chaniago membuka sidang. Dibacakannya putusan vonis yang secara bergantian setelahnya oleh hakim anggota Ugo, Andi Bachtiar, Edward Patinasarani, dan Dudu Duswara.

Selama persidangan Ayin terlihat serius mendengarkan apa yang dibacakan Majelis Hakim. Menatap ke arah Majelis Hakim dengan seksama. Sesekali melihat ke lantai. Ketika dirinya mengelap sudut matanya, cahaya kamera dari fotografer kembali berkilat mengabadikannya. Begitu pula saat dirinya melirik ke arah penasehat hukumnnya di sisi kanan.

Ketika giliran Edward Patinasarani, Ayin mulai tampak lelah. Beberapa kali menunduk dan merenung menatap ke lantai. Sempat membetulkan posisi duduknya dan tas di belakangnya diaturnya kembali.

Hampir membutuhkan 40 menit menyelesaikan bacaan putusan tersebut. Manysurdin kemudian kembali berbicara untuk menegaskan tentang putusan terakhir.

Palu telah diketok. Dan Artalyta atau Ayin dinyatakan bersalah, dijerat hukuman 5 tahun penjara. Serta denda sebesar Rp250 juta kepada Artalyta.

Ayin telah melakukan tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam pasal 5 ayat (1) b UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Tidak Ada hal-hal yang meringankan,” begitu kata Mansyurdin ketika membacakan perihal putusannya.

Mansyurdin kemudian melanjutkan, “Dengan keputusan ini Majelis Hakim memberikan waktu selama tujuh hari untuk mempertimbangkan keputusan. Jika dalam tempo tujuh hari terdakwa (Ayin-red) tidak ada tanggapan, maka dianggap telah menerima dakwaan ini.”

Ayin kemudian menatap ke OC Kaligis. Dan OC Kaligis meminta izin Ketua Hakim Majelis untuk mendekat ke Ayin. Berbincang sebentar dan OC Kaligis kembali ke tempat.

“Saya pikir-pikir dulu,” begitu jawaban yang keluar dari mulut Ayin.

Ayin sempat berkaca-kaca saat keluar dari persidangan. Kameraman mencoba kembali mengambil gambar. Sayang, pengawalan terlalu ketat. Sempat terjadi keributan ketika jalan dipenuhi wartawan. “Saya harus pake bahasa apa,” bentak polisi ke arah wartawan.

Setelah sidang, OC Kaligis sempat memeberikan komentar. “Itu akan dipikirkan selam tujuh hari ke depan. Aneh sekali, ada yang memberatkan tapi enggak ada hal yang memberatkan.”

Begitu juga dengan Romy, anaknya. “Pasrah aja. Kita pikir-pikir satu minggu. Keputusannya dzolim, kita terima aja. Keputusan itu tidak adil. Dari saksi tidak ada bukti yang menguatkan. Ini keputusan paling dzolim.”

OC Kaligis pun menambahkan, “Bu Ayin paling kooperatif. Selama ini kerja samanya paling bagus. Kerja samanya sama orang baik. Dia memang orang baik.” Ayin selama ini dianggap hanya memberikan pinjaman ke Urip Tri Gunawan.

Mengapa tidak langsung banding? OC Kaligis menjawab, itu menurut UU.

Ketika Ayin di ruang Khusus Terdakwa, Ayin langsung dipeluk Lani. Ayin menitikkan air mata. Di ruangan lain, famili dari Ayin ada yang tidak terima, sehingga memasuki ruang jaksa penuntut umum. Tapi, pihak polisi segera mengamankan. Putusan itu, membuat lemas sanak saudaranya.

Basa-basi Al Amin

[Dimuat pertama kali di Harian Ekonomi Indonesia Business Today, 29 Juli 2008. Saya lupa judulnya, arsip koran telah dijual oleh Pakde ke tukang loak. Tapi kemudian saya rubah dan berganti judul itu, pada 24 Desember 2008.]

JAKARTA - JAM menunjukkan 11.24 wib. Laki-laki itu berjalan dengan langkah panjang dan menebar senyum. Kini, rambutnya sedikit panjang di bagian belakang. Langkahnya pasti, seperti tanpa beban. Jepretan kamera wartawan berkali-kali menerpa dirinya. Pakaian batik berwarna hijau motif wajik warna putih dan cokelat membalut di tubuh cekingnya. Begitulah, Al Amin Nur Nasution (36), anggota komisi IV DPR RI.

Ia datang ke sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), (28/7) di Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan diiringi dengan beberapa saudaranya. Ia sebagai saksi atas terdakwa Azirwan, Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan terkait peralihan hutan lindung di Propinsi Kepulauan Riau.

Ketua Majelis Hakim Tipikor, Mansyurdin Chaniago, memulai membuka sidang dengan pertanyaan. “Apakah saudara mengenal terdakwa, Azirwan?”. Al Amin menjawab, tidak. Suaranya agak berat dan pelan.

Al Amin mengatakan, jika dirinya tidak ada hubungan sanak famili dengan Azirwan. Tapi mengenal Azirwan ketika bertemu di Kabupaten Bintan, saat kunjungan kerja ke Kepulauan Riau. Dia menggunakan waktu reses untuk kunjungan kerja guna menerima beberapa aspirasi dari simpatisan partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Majlis Hakim melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP), berkali-kali dibantahnya. Tidak tahu, enggak, tidak pernah, lupa serta tidak ingat, begitu kata-kata yang keluar dari suami penyanyi dangdut Kristina itu. Majlis Hakim pun menjadi berang.

Ketika Mahsyudin Chaniago menanyakan, apa yang dilakukan dirinya ke Pulau Bintan. Al Amin mencoba mengalihkan pembicaraan dan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan kepadanya.

“Anda jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Ini bukan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat-red). Jadi bersifat koopertiflah,” sergah Mansyurdin.

Tapi tetap saja, Al Amin mengaku tidak pernah tahu atau tidak ingat. Ketika diputarkan percakapan antara dirinya dengan Azirwan yang mana disebutkan juga adanya Edy Pribadi, seseorang yang diminta untuk menyerahkan amplop yang berisi uang, dirinya juga membantahnya.

Padahal, pada kesaksian sebelumanya, Edy Pribadi menyatakan bahwa itu adalah benar. Begitu juga Saksi Anisa Gemala (25), sekretaris pribadi Al Amin mengaku, dirinya pernah mendapat titipan sebuah amplop yang diberikan Edy untuk diserahkan ke Al Amin.

“Ya saya pernah diberi titipan dari Edy Pribadi, sopirnya Bu Kristina, sebuah amplop,” begitu kata Setpri Al amin, yang masih mahasiswa itu. Namun, dirinya tidak pernah tahu bahwa itu uang atau surat. Ketika menyerahkan amplop tersebut, dirinya tidak pernah menanyakan isinya itu apa.

“Anda di sini sebagai saksi, sudah disumpah. Kita mengadakan pengadilan Tipikor ini sudah lama. Melekat pada diri saksi yaitu sedang puasa. Biasa puasa Senin dan Kamis atau baru kali ini saja?. Kita boleh terbuka di sini,” demikian ujar anggota Majlis Hakim, Ugo.

Al Amin dinilai Majelis Hakim tidak bersifat kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa kali, anggota Majlis Hakim kesal, dengan jawaban yang tidak menunjukkan jawaban seorang saksi intelektual.

“Keterangan saksi adalah untuk terdakwa. Ada enggak bukti-bukti untuk dipertimbangkan dalam tuntutan. Itu bukan jawaban yang menunjukkan intelektualitas seorang saksi. Nah, Anda dari PPP. Sedikitlah untuk bicara, tidak usah terlalu banyak,” tambah Ugo yang sedikit kesal.

Sementara itu, sambil menuggu kesaksian Bupati Bintan, Anshar Ahmad, Azirwan tampak bertopang dagu, memerhatikan penuh kesaksian atasannya itu. Sesekali dirinya menyandar ke kursi, tampaknya dirinya terlalu lelah. Berbincang sebentar dengan pengacara di sebelahnya, tersenyum dan kembali memerhatikan kesaksian Anshar Ahmad.

Anshar mengaku, dirinya belum pernah mendapatkan laporan mengenai kegiatan-kegiatan Azirwan dengan anggota komisi IV, Departemen Luar Negeri (Deplu) maupun kehutanan.

Seusai Anshar memberikan keterangan saksi, Azirwan dengan agak parau dan terbata-bata, seperti akan menangis mengatakan, minta maaf karena telah mencoreng Pemerintahan Kabupaten Bintan.

Dari kasus pengalihan hutan lindung ini, total uang yang diberikan ke Al amin sebesar Rp.2,25 milliar.