LEDAKAN itu terjadi ketika aku sedang berada di pintu sebuah toko kaca mata. Suaranya begitu keras, mengagetkan setiap pengunjung di sana. Semua panik. Orang-orang berhamburan keluar gedung, mencoba menyelamatkan diri. Mereka trauma dengan suara bom, takut hal yang sama seperti World Trade Center (WTC), gedung kembar di Amerika Serikat yang dibom para pembajak pesawat terbang. Orang-orang keluar mencari sumber ledakan. Terlihat kepulan asap berasal dari gedung pos perekrutan militer. Sirine mobil polisi mendesing seluruh Times Square, New York. Beberapa pemadam kebakaran telah datang, menerobos kerumunan orang, dan jalan pun ditutup dengan garis polisi.
Seorang sopir taksi yang berada di depan toko, berkata dengan nerocos-nya bahwa telah terjadi serangan bom di pos perekrutan militer. “Oh, God..no..no..,” begitu gumamnya terus. Mungkin dipikirnya itu adalah serangan teroris yang telah meluluh lantahkan Amerika tujuh tahun silam. Aku maklum kalau orang-orang Amerika begitu trauma dengan kejadian WTC itu. Sampai-sampai tiap ada guncangan kecil, mereka selalu keluar gedung. Dan ketika ledakan itu terjadi di Times Square kemarin, semuanya panik dan bingung. Semuanya mencari perlindungan, aku pun juga ikut dalam hamburan kepanikan. Bagaimana tidak ikut panik, jika semua yang ada di dalam toko di Times Square keluar tumpah di jalan.
“Baru saja aku menurunkan perempuan tua itu dan ledakan itu begitu mengagetkanku. Kasihan perempuan tua itu, dia sempat sesak nafas. Penyakit asmanya tiba-tiba kambuh, untungnya dia membawa peralatan di tasnya,” kata sopir taksi itu lagi. Aku lihat mukanya sedikit jengkel. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh umpatan dan aku hanya diam dan tak mendengarkan cerocosan-nya.
Salah seorang di belakangku tiba-tiba menyela, “Aku masih di dalam lift, untung sudah mau keluar dan buru-buru lari keluar gedung kantor. Ledakan itu menggetarkan gedung.” Di samping sopir taksi seorang laki-laki paruh baya, masih memakai celana pendek dan kaus singlet. Mungkin ia masih tidur-tiduran di sofa melihat televisi, sambil menengggak bir dengan makanan berserakan di meja. Aku lihat dia tidak memakai sepatu atau sandal ketika keluar. Jarang-jarang orang New York nyeker keluar kamarnya. Barangkali lampu kamarnya dimatikan dan ketika ledakan itu terjadi dirinya keluar begitu saja tanpa berpikir apa pun. Dan bau birnya sedikit anyir di hidungku.
“Aku pikir guntur. Tetapi, aku melihat banyak asap dan kemudian menyadari itu adalah ledakan. Makanya aku cepat-cepat turun dan kutinggalkan pekerjaan,” kata seorang petugas ledeng. Aku tahu karena petugas ledeng di sana berseragam khusus.
Orang-orang hiruk pikuk mencari tahu. Para pemadam kebakaran sibuk meraih posisi yang tepat untuk memadamkan api, polisi New York atau NYPD mengatur jalan agar tak ada yang memasuki area ledakan. Mereka benar-benar bertindak cepat dengan mengerahkan bantuan sebanyak-banyaknya. Barangkali biar tidak diejek oleh penduduk kota New York, atas slogan di jaket hitam di punggungnya, “Emergency Service Unit”.
Tidak kulihat hal itu di Jakarta, ketika terjadi kebakaran. Mereka selalu datang ketika semuanya sudah roboh dan menjadi arang. Bagaimana tidak terlambat, Jakarta begitu macet dan sumpek. Apalagi jika daerah kebakaran susah dijangkau mobil pemadam kebakaran.
Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalan. Geliat lampu gedung dan pertokoan menyapu Times Square. Seperti tak ada malam, padahal waktu itu sudah petang. Dasar New York, kota yang tak pernah mati. Ketika hujan mulai deras, semua bubar bak semut yang digebyah dengan sapu. Berhamburan masuk toko, ada yang kembali ke kamar apartemennya. Aku pun lari ke apartemenku. Petang itu benar-benar mencekam.
PAGI harinya, aku tak keluar dari kamar apartemen. Kuputuskan hari ini tidak keluar untuk ke kampus, toh tugas kuliahku sudah selesai dan tinggal bertemu dengan Mr. Marshall untuk membicarakan kelanjutan disertasiku. Mungkin lusa baru bisa ketemu.
Aku ambil koran di depan kamar. Semua harian New York, memberitakan ledakan itu. Aku memang berlangganan beberapa koran untuk menambah informasi, biar tidak ketinggalan berita jika diskusi di kampus. Headline koran berbunyi “Kamis Kelabu di Time Square”. Dari pemberitaan koran, ledakan mengakibatkan pos perekrutan militer luluh lantah, beberapa gedung di sampingnya pun ikut hancur dan retak-retak. Tercatat, korban tewas lima puluh orang, kebanyakan orang-orang militer, lainnya, ada yang luka-luka karena terkena pecahan kaca dan tembok yang runtuh.
Tapi ada salah satu headline hanya menulis begini, “Sepucuk Surat Untuk Time Square”. Ketika koran-koran lainnya memberitakan dengan nada provokatif, tapi koran itu beda. Barangkali tim redaksinya tidak ingin membikin penduduk New York dihantui bom tiap waktu, judulnya pun dibuat ringan. Memang, kata teman kuliahku, Ludikov, penduduk New York bosan dan takut membaca koran, karena mereka seperti diteror dengan berita-berita yang simpang siur. Apalagi jika ada pemilihan gubernur atau presiden. Semua koran membuat berita dengan kepentingan masing-masing. Kebanyakan berita ditulis tidak sebagai informasi tapi menghasut pembaca dan menakutinya.
Meski penduduk New York ke mana-mana menenteng koran, tapi yang dibacanya justru entertainment dan iklan. Berita-berita politik hanya selingan saja. Menurut temanku lainnya, James, semenjak kepemimpinan Bush, penduduk sudah membencinya dengan kebijakan perangnya di Irak dan Afghanistan. “Bapak dan anaknya sama saja. Kau tahu kan Bush senior dan junior, sama-sama suka perang. Padahal penduduk Amerika tak pernah setuju dengan kebijakan itu. Kami merasa malu dan dicap sebagai pembuat onar dunia. Padahal kami mencintai umat manusia. Banyak yang mengatakan, orang Amerika itu bengis, tapi tidak semua orang Amerika seperti Bush,” begitu katanya suatu kali aku berdiskusi mengenai teroris.
Memang tidak semua orang Amerika seperti Bush, tapi logika orang-orang negara ketiga tetap saja, orang Amerika itu penjahat. Nalar yang salah bukan? Tapi sampai kapan pun, itu akan tetap berlaku sampai anak cucu. Kecuali Amerika benar-benar musnah dari bumi ini, batinku.
Berita koran itu mengatakan, sepucuk surat dikirimkan ke kantor anggota Kongres setelah terjadi ledakan. Isinya ada sebuah foto dan bertuliskan kalimat,”Kami yang melakukan peledakan”.
Disebutkan katanya amplop karton itu, berisi foto seorang laki-laki yang berdiri di depan kantor perekrutan sebelum di bom. Surat itu semacam kartu ucapan selamat tahun baru. Selain foto ada beberapa lembar kertas yang berisi sebuah manifesto politik yaitu menentang kebijakan gubernur New York persoalan pembersihan orang-orang Rusia. Katanya, orang-orang Rusia di New York tidak benar-benar bekerja, tapi sedang melakukan mata-mata. Makanya, beberapa waktu lalu, hubungan Amerika-Rusia sedikit meruncing.
Aku tinggalkan koran-koran itu. Ku nyalakan televisi, acaranya pun masih seputar ledakan itu. Ku pindah chanel tivi ke acara musik. Volume ku keraskan supaya bisa terdengar sampai dapur. Ketika aku hendak ke dapur, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetok pintu beberapa kali.
Dua orang berseragam polisi, sudah ada di depan pintu. Sambil menunjukkan kartu identitas, mereka masuk dan melihat sekeliling seperti mencari sesuatu. Aku bingung dan ku cegah mereka ketika mau masuk ke ruang pribadiku.
“Tunggu, mister! Ada apa ini?” kataku.
“Where is he?” kata polisi yang gemuk sambil mengambil pistolnya.
“Laki-laki mana, hanya ada saya di sini. Saya hanya mahasiswa dari Indonesia.”
“Jangan berbohong, hei Indonesia. Tak usah pura-pura. Dia berbahaya. Ludovik kau tahu nama itu!” Kali ini polisi yang kurus membuka suara dengan membentak.
Mendengar nama Ludovik, aku jadi teringat dengan berita di koran, sepucuk surat yang berisi manifesto politik orang-orang Rusia terhadap kebijakan gubernur New York. Barangkali mereka mencarinya, dikiranya dia bersamaku, batinku.
“Ya, aku tahu dan kenal dia. Dia teman sekelas ku, orang keturunan Rusia dan sudah menjadi warga negara Amerika, bukan?”
“Memang dia Amerika sekarang, tapi dia masih punya kakak yang berkomplot dengan pembom di Times Square petang kemarin. Jadi kami mencarinya, di mana dia? Lebih baik kau bantu kami, jika tidak ingin ada masalah, Indonesia? Kata yang gemuk sambil matanya menciring di mukaku. Sementara yang kurus keluar masuk kamar, menggeledah setiap sudut. Kepalanya menggeleng ke arah temannya, menandakan tidak ada yang dicari. Mereka kemudian menyarungkan pistolnya.
“Oke. Tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri di sini.”
Mereka memberiku sebuah nomor telepon, supaya aku melaporkan jika ada Ludovik atau kabar dari kakaknya. Mereka pergi tanpa mengucapkan, sorry atau kata maaf lainnya. Melenggang begitu saja.
Begitulah, polisi New York itu menyebalkan dan tak tahu diri. Seenaknya masuk kamar orang dan menggeledah setiap sudutnya. Apalagi jika orang yang digeledah adalah orang luar dari negara-negara berkembang. Mereka selalu menyudutkan dan memaksa orang itu bersalah dan mengakui apa yang ditanyakan oleh polisinya.
“Polisi tolol,” kataku sambil menuju kamar mandi. Kertas itu pun kulemparkan bak sampah.
Kampung halaman, 23 April 2008