Jumat, 23 Januari 2009

Sepucuk Surat

LEDAKAN itu terjadi ketika aku sedang berada di pintu sebuah toko kaca mata. Suaranya begitu keras, mengagetkan setiap pengunjung di sana. Semua panik. Orang-orang berhamburan keluar gedung, mencoba menyelamatkan diri. Mereka trauma dengan suara bom, takut hal yang sama seperti World Trade Center (WTC), gedung kembar di Amerika Serikat yang dibom para pembajak pesawat terbang. Orang-orang keluar mencari sumber ledakan. Terlihat kepulan asap berasal dari gedung pos perekrutan militer. Sirine mobil polisi mendesing seluruh Times Square, New York. Beberapa pemadam kebakaran telah datang, menerobos kerumunan orang, dan jalan pun ditutup dengan garis polisi.

Seorang sopir taksi yang berada di depan toko, berkata dengan nerocos-nya bahwa telah terjadi serangan bom di pos perekrutan militer. “Oh, God..no..no..,” begitu gumamnya terus. Mungkin dipikirnya itu adalah serangan teroris yang telah meluluh lantahkan Amerika tujuh tahun silam. Aku maklum kalau orang-orang Amerika begitu trauma dengan kejadian WTC itu. Sampai-sampai tiap ada guncangan kecil, mereka selalu keluar gedung. Dan ketika ledakan itu terjadi di Times Square kemarin, semuanya panik dan bingung. Semuanya mencari perlindungan, aku pun juga ikut dalam hamburan kepanikan. Bagaimana tidak ikut panik, jika semua yang ada di dalam toko di Times Square keluar tumpah di jalan.

“Baru saja aku menurunkan perempuan tua itu dan ledakan itu begitu mengagetkanku. Kasihan perempuan tua itu, dia sempat sesak nafas. Penyakit asmanya tiba-tiba kambuh, untungnya dia membawa peralatan di tasnya,” kata sopir taksi itu lagi. Aku lihat mukanya sedikit jengkel. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh umpatan dan aku hanya diam dan tak mendengarkan cerocosan-nya.

Salah seorang di belakangku tiba-tiba menyela, “Aku masih di dalam lift, untung sudah mau keluar dan buru-buru lari keluar gedung kantor. Ledakan itu menggetarkan gedung.” Di samping sopir taksi seorang laki-laki paruh baya, masih memakai celana pendek dan kaus singlet. Mungkin ia masih tidur-tiduran di sofa melihat televisi, sambil menengggak bir dengan makanan berserakan di meja. Aku lihat dia tidak memakai sepatu atau sandal ketika keluar. Jarang-jarang orang New York nyeker keluar kamarnya. Barangkali lampu kamarnya dimatikan dan ketika ledakan itu terjadi dirinya keluar begitu saja tanpa berpikir apa pun. Dan bau birnya sedikit anyir di hidungku.

“Aku pikir guntur. Tetapi, aku melihat banyak asap dan kemudian menyadari itu adalah ledakan. Makanya aku cepat-cepat turun dan kutinggalkan pekerjaan,” kata seorang petugas ledeng. Aku tahu karena petugas ledeng di sana berseragam khusus.

Orang-orang hiruk pikuk mencari tahu. Para pemadam kebakaran sibuk meraih posisi yang tepat untuk memadamkan api, polisi New York atau NYPD mengatur jalan agar tak ada yang memasuki area ledakan. Mereka benar-benar bertindak cepat dengan mengerahkan bantuan sebanyak-banyaknya. Barangkali biar tidak diejek oleh penduduk kota New York, atas slogan di jaket hitam di punggungnya, “Emergency Service Unit”.

Tidak kulihat hal itu di Jakarta, ketika terjadi kebakaran. Mereka selalu datang ketika semuanya sudah roboh dan menjadi arang. Bagaimana tidak terlambat, Jakarta begitu macet dan sumpek. Apalagi jika daerah kebakaran susah dijangkau mobil pemadam kebakaran.

Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalan. Geliat lampu gedung dan pertokoan menyapu Times Square. Seperti tak ada malam, padahal waktu itu sudah petang. Dasar New York, kota yang tak pernah mati. Ketika hujan mulai deras, semua bubar bak semut yang digebyah dengan sapu. Berhamburan masuk toko, ada yang kembali ke kamar apartemennya. Aku pun lari ke apartemenku. Petang itu benar-benar mencekam.

PAGI harinya, aku tak keluar dari kamar apartemen. Kuputuskan hari ini tidak keluar untuk ke kampus, toh tugas kuliahku sudah selesai dan tinggal bertemu dengan Mr. Marshall untuk membicarakan kelanjutan disertasiku. Mungkin lusa baru bisa ketemu.

Aku ambil koran di depan kamar. Semua harian New York, memberitakan ledakan itu. Aku memang berlangganan beberapa koran untuk menambah informasi, biar tidak ketinggalan berita jika diskusi di kampus. Headline koran berbunyi “Kamis Kelabu di Time Square”. Dari pemberitaan koran, ledakan mengakibatkan pos perekrutan militer luluh lantah, beberapa gedung di sampingnya pun ikut hancur dan retak-retak. Tercatat, korban tewas lima puluh orang, kebanyakan orang-orang militer, lainnya, ada yang luka-luka karena terkena pecahan kaca dan tembok yang runtuh.

Tapi ada salah satu headline hanya menulis begini, “Sepucuk Surat Untuk Time Square”. Ketika koran-koran lainnya memberitakan dengan nada provokatif, tapi koran itu beda. Barangkali tim redaksinya tidak ingin membikin penduduk New York dihantui bom tiap waktu, judulnya pun dibuat ringan. Memang, kata teman kuliahku, Ludikov, penduduk New York bosan dan takut membaca koran, karena mereka seperti diteror dengan berita-berita yang simpang siur. Apalagi jika ada pemilihan gubernur atau presiden. Semua koran membuat berita dengan kepentingan masing-masing. Kebanyakan berita ditulis tidak sebagai informasi tapi menghasut pembaca dan menakutinya.

Meski penduduk New York ke mana-mana menenteng koran, tapi yang dibacanya justru entertainment dan iklan. Berita-berita politik hanya selingan saja. Menurut temanku lainnya, James, semenjak kepemimpinan Bush, penduduk sudah membencinya dengan kebijakan perangnya di Irak dan Afghanistan. “Bapak dan anaknya sama saja. Kau tahu kan Bush senior dan junior, sama-sama suka perang. Padahal penduduk Amerika tak pernah setuju dengan kebijakan itu. Kami merasa malu dan dicap sebagai pembuat onar dunia. Padahal kami mencintai umat manusia. Banyak yang mengatakan, orang Amerika itu bengis, tapi tidak semua orang Amerika seperti Bush,” begitu katanya suatu kali aku berdiskusi mengenai teroris.

Memang tidak semua orang Amerika seperti Bush, tapi logika orang-orang negara ketiga tetap saja, orang Amerika itu penjahat. Nalar yang salah bukan? Tapi sampai kapan pun, itu akan tetap berlaku sampai anak cucu. Kecuali Amerika benar-benar musnah dari bumi ini, batinku.

Berita koran itu mengatakan, sepucuk surat dikirimkan ke kantor anggota Kongres setelah terjadi ledakan. Isinya ada sebuah foto dan bertuliskan kalimat,”Kami yang melakukan peledakan”.

Disebutkan katanya amplop karton itu, berisi foto seorang laki-laki yang berdiri di depan kantor perekrutan sebelum di bom. Surat itu semacam kartu ucapan selamat tahun baru. Selain foto ada beberapa lembar kertas yang berisi sebuah manifesto politik yaitu menentang kebijakan gubernur New York persoalan pembersihan orang-orang Rusia. Katanya, orang-orang Rusia di New York tidak benar-benar bekerja, tapi sedang melakukan mata-mata. Makanya, beberapa waktu lalu, hubungan Amerika-Rusia sedikit meruncing.
Aku tinggalkan koran-koran itu. Ku nyalakan televisi, acaranya pun masih seputar ledakan itu. Ku pindah chanel tivi ke acara musik. Volume ku keraskan supaya bisa terdengar sampai dapur. Ketika aku hendak ke dapur, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetok pintu beberapa kali.

Dua orang berseragam polisi, sudah ada di depan pintu. Sambil menunjukkan kartu identitas, mereka masuk dan melihat sekeliling seperti mencari sesuatu. Aku bingung dan ku cegah mereka ketika mau masuk ke ruang pribadiku.

“Tunggu, mister! Ada apa ini?” kataku.

Where is he?” kata polisi yang gemuk sambil mengambil pistolnya.

“Laki-laki mana, hanya ada saya di sini. Saya hanya mahasiswa dari Indonesia.”

“Jangan berbohong, hei Indonesia. Tak usah pura-pura. Dia berbahaya. Ludovik kau tahu nama itu!” Kali ini polisi yang kurus membuka suara dengan membentak.

Mendengar nama Ludovik, aku jadi teringat dengan berita di koran, sepucuk surat yang berisi manifesto politik orang-orang Rusia terhadap kebijakan gubernur New York. Barangkali mereka mencarinya, dikiranya dia bersamaku, batinku.

“Ya, aku tahu dan kenal dia. Dia teman sekelas ku, orang keturunan Rusia dan sudah menjadi warga negara Amerika, bukan?”

“Memang dia Amerika sekarang, tapi dia masih punya kakak yang berkomplot dengan pembom di Times Square petang kemarin. Jadi kami mencarinya, di mana dia? Lebih baik kau bantu kami, jika tidak ingin ada masalah, Indonesia? Kata yang gemuk sambil matanya menciring di mukaku. Sementara yang kurus keluar masuk kamar, menggeledah setiap sudut. Kepalanya menggeleng ke arah temannya, menandakan tidak ada yang dicari. Mereka kemudian menyarungkan pistolnya.

“Oke. Tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri di sini.”

Mereka memberiku sebuah nomor telepon, supaya aku melaporkan jika ada Ludovik atau kabar dari kakaknya. Mereka pergi tanpa mengucapkan, sorry atau kata maaf lainnya. Melenggang begitu saja.

Begitulah, polisi New York itu menyebalkan dan tak tahu diri. Seenaknya masuk kamar orang dan menggeledah setiap sudutnya. Apalagi jika orang yang digeledah adalah orang luar dari negara-negara berkembang. Mereka selalu menyudutkan dan memaksa orang itu bersalah dan mengakui apa yang ditanyakan oleh polisinya.

“Polisi tolol,” kataku sambil menuju kamar mandi. Kertas itu pun kulemparkan bak sampah.

Kampung halaman, 23 April 2008

Dunia

ADZAN Magrib baru saja usai. Gerobak itu meluncur pelan di jalan tanah becek, berkerikil, dan penuh serakan sampah plastik. Mendekati gubuk lusuh, ia pinggirkan gerobak menjorok ke dalam. Lelaki itu menahan batuk yang makin parah. Hawa memang menusuk tulang. Semribit. Dingin.

Gubuk itu beratap seng plastik warna biru dan sudah gumpil-gumpil di bagian tepinya. Terdengar suara perempuan berdehem. Lampu badai baru saja menyala, memberi kehangatan mereka. Lelaki itu ke belakang, membersihkan diri dan bergegas sholat Magrib. Perempuan tadi menyibukkan diri di belakang, layaknya perempuan lain ketika suaminya pulang. Memberi teh hangat atawa makanan. Ia membuat api di tungku. Tak lama kemudian, ia membawa teh hangat ke amben.

Lelaki itu senyum melihat istrinya sibuk menyiapkan makan malam. Dalam hati, lelaki itu mengira ada makanan yang dapat ia santap malam ini. Sedari siang tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Untung paginya, dia diberi makanan oleh temannya.

Ia pergi ke dapur. Dibukalah panci itu. Ia terbelalak. Mukanya yang tadi senyum berubah lesu. Ia terduduk lemas di dekat tungku, masih memegang tutup panci. Batu-batu kerikil yang dikiranya masakan itu masih tetap seperti semula. Hanya asap yang keluar disela-sela batu-batu itu.

“Barangkali Tuhan memang sengaja tak memberikan kita anak. Aku tak bisa bayangkan bagaimana nasib mereka jika aku tak ada,” kata Pedro sambil menerawang sekeliling gubuknya itu.

“Kenapa juga aku dulu menolak jadi pegawai bank. Dunia…”

Istrinya, Zainab, tertunduk lesu mendengar suaminya berkata seperti itu. Ia kasihan melihat suaminya kerja seharian hanya teh hangat yang dijumpainya. Tangisnya hampir pecah, tapi masih bisa ia tahan. Air matanya perlahan menetes keluar membasahi pipi keriputnya.

“Kalau kau terima lamaran Yudha, pilihan ayahmu, yang kini sudah jadi pegawai negeri tentu kau tak susah-susah menanak batu seperti ini.”

Pedro pun tertunduk memeluk pahanya. Angin mendesir.

“Apa yang akan aku katakan pada ayah ibu kelak di akhirat sana. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan perkataanku dulu,” desis Pedro.

“Dunia…”

PEDRO hampir saja membanting tutup panci itu ke atas tungku. Namun ia urungkan dan membaca istighfar berkali-kali. Ia menangis. Dadanya berdegup tak keruan. Ia menyesal jika mengingat waktu dirinya berani melamar Zainab.

“Beri kami alasan yang kuat mengapa kami harus menerimamu,” ucap Ayah Zainab.

“Saya tak berani berjanji. Tapi dengan pengetahuan dan ilmu yang saya dapatkan, saya bisa menulis dengan menjadi wartawan,” jawab Pedro.

“Aku tak yakin kau mampu menghidupi putriku. Aku tak rela jika harus terlantar. Tapi aku hargai usahamu. Jika melihat pendidikanmu aku cukup yakin tapi dengan kerja kerasmu aku masih sanksi. Anak muda jaman sekarang, jarang yang mau bekerja keras, mintanya instan,” ujar Ayah Zainab.

“Ibu hanya berpesan jadikanlah dirimu tetap bertapak di bumi, anakku. Biar dirimu mengerti hidup. Ibu bukan menyerah pada umumnya orang, memang sampai saat ini masih ada idealisme yang seperti yang kau punyai,” giliran Ibu Zainab menambahi

Kata-kata itu seakan menusuk dan menghujam Pedro terlalu dalam. Sakit. Perih. Pedro tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia sesenggukan mengingat itu. Ia terlalu berani dengan kata-katanya, tapi dunia tak seperti yang dibayangkan Pedro. Dunia yang dibayangkan Pedro seperti dalam buku-buku cerpennya, filsafatnya, pikiran-pikiran ideal penulis ‘pembohong’. Pedro terjebak dalam dunia awang-awang. Kinia, Ia terlindas dalam dunia yang serba uang dan intrik.

Memang Pedro pernah menjadi wartawan selepas kuliah. Dengan keyakinannya, ia nikahi Zainab. Zainab pun bangga punya suami seperti Pedro yang intelektual. Ia hidup mengontrak di Jakarta. Selama setahun, ia bertahan menjadi wartawan. Ia tak betah dengan kondisi kantornya yang hanya mencari oplah saja, tanpa melihat kondisi beritanya. Berita ‘menyerang’ pemerintah yang tak logis dan diterima nurani Pedro. Berita yang dibikin-bikin. Mau jadi apa dunia jika rakyat dicekoki berita seperti itu, kata Pedro suatu kali. Kantornya meminta berita lebih dalam dan beda dengan yang lain, dalam waktu sehari atawa tepatnya dalam hitungan jam. Bagaimana mungkin melakukan investigasi dalam sehari, kata Pedro, mereka sudah salah kaprah soal investigasi. Pedro terus mengumpat-umpat cara kerja kantornya. Uang makan yang tak kunjung diberi selama lima bulan terpaksa membuatnya hengkang. Ia putuskan cari tempat lain dan menulis lepas.

Beberapa kantor ia beri lamaran. Beberapa memanggilnya untuk interview. Tapi tak ada kata sepakat. Ia kemudian menulis artikel dan cerpen ke beberapa media selama tiga bulan; tak ada yang dimuat. Sementara uang tabungan makin lama makin terkikis. Ia hampir putus asa. Ia tak mengerti apa yang membuat redaktur itu tak memuatnya, kata Pedro. “Sesibuknya redaktur aku tahu seperti apa,” Pedro terus mengumpat. Ia berpikir yang dimuatnya hanya yang dikenal redaktur, satu komunitas, atawa aktif di komunitas sastra. Ah, apa harus ikut komunitas seperti itu, protes Pedro.

Usaha Pedro sudah penuh – tak ada hasil tambahan uang. Satu per satu perabotannya ia jual. Tapi ia masih malu kerja lainnya. Rasa malu yang merundungnya menimbulkan hasrat dalam dirinya mengidap rasa benci terhadap kebenaran yang menyalahkannya dan meyakinkan dia akan kesalahan-kesalahannya. Zainab melihat suaminya putus asa. Ia bangkitkan pelang-pelan. Ia begitu sabar menemaninya. Pedro pun terpaksa melemparkan malunya bekerja sebagai tukang sablon. Sedikit-sedikit ia tahu karena pernah ikut nyablon tempat temannya dulu saat kuliah. Tapi tak seberapa uang yang didapat. Ia masih tergerus utang ini itu. Utangnya yang banyak membuat kontrakan dilepasnya. Dan ia putuskan tinggal di gubuk belakang kantor sebuah bank, atas saran temannya di sablonan. Ia benahi dan cukup layak untuk berdua. Zainab tak pernah mengeluh apalagi menangis melihat kondisinya seperti itu. Ia yakin suaminya bisa mencari penghasilan. Toh, hanya berdua. Ia sudah tak berharap lagi punya anak. Zainab tak tahu siapa yang mandul. Suatu kali Zainab pernah sekali meminta Pedro menghubungi Ayahnya, saat masih hidup, untuk meminjam uang. Tapi Pedro menolaknya, katanya ia malu kalau harus bersandar pada mertua. Zainab pun pasrah. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dicapai suaminya itu. Pulang ke kampung dia tak mau, tapi kondisi sudah begitu parah. Aku pasrah padamu Ya Allah, kata Zainab tiap malamnya.

“Kau tak malu kan Zainab, kita berteduh di gubuk ini,” kata Pedro saat pertama kali tinggal di gubuk itu.

“Cukup suami yang setia menemaniku. Itu lebih dari segalanya,” cetus Zainab.

BAGI Pedro senyaman-nyamannya orang adalah yang mempunyai rumah sendiri. Meski gubuk itu tidak dibenarkan oleh pemerintah. Bagi Pedro gubuk itu sudah menjadi rumahnya sendiri. Pedro tak bisa membayangkan hidup tanpa rumah. Mendirikan bangunan di tanah Jakarta begitu susah. Ada yang mendompleng bangunan gedung bertingkat, di bawah jembatan layang, sepanjang rel kereta dan mentok-mentoknya paling di bantaran kali Ciliwung. Sementara yang legal pun rumit mengurusnya, ditambah biaya yang tidak sedikit, mana cukup penghasilan seorang Pedro yang hanya seorang buruh, tiap hari kerja serabutan seadanya.

Dimulainya hari kerja ketika subuh tiba. Setelah tak di sablonan – karena sepi pesanan – ia milih menjadi pengantar susu. Ia kerjakan sampai sekitar pukul delapan. Setelah itu, ia pergi menjadi pemulung mencari barang-barang bekas yang bisa dijual pada pengumpul dan dilakukannya sampai hampir maghrib tiba. Terkadang pekerjaan itu tak rutin dilakukannya. Pekerjaan mulung ia kerjakan saat butuh uang untuk kebutuhaan mendesak. Dalam satu hari pekerjaan bisa berubah-rubah dari pengantar susu, pemulung, penjual koran, menjadi kuli atau penjual air bersih. Dan semuanya bukanlah pekerjaan tetap; hari ini dengan besok pun tak sama kerjaannya. Paginya menjual koran, sorenya menjadi pemulung sampai habis magrib. Namun, besok mungkin menjadi pengantar susu saja. Begitulah Pedro dalam hidupnya. Semuanya dilakukan demi istrinya, meski sudah duapuluh tahun menikah dan belum dikarunia seorang anak.

“Tak pernah sedikit pun Tuhan memberikan kesulitan yang melebihi kemampuanmu, Mas,” tiba-tiba Zainab menyahut dari dalam. Suaranya masih serak. Ia mengerti suaminya menangis, makanya ia ingin bangkitkan lagi semangatnya.

Keduanya terdiam sesaat. Sesekali suara sepeda motor melewati gubuknya. Lampu badai bergoyang diterpa angin.

“Tak perlu dibuat beban apa yang akan Mas sampaikan kelak, yang jelas, Mas perlu kesabaran. Kalau pun kita diusir dari sini, semoga kita cukup uang untuk pulang. Rumah ayah masih ada. Kemarin, aku menyurati Ningsih, ia yang selama ini merawatnya,” tambah Zainab.

Pedro masih sesenggukan di dapur.

“Tapi…”

“Tak usah dirundung malu. Bebaskan semuanya, Mas. Kita terima saja kebenaran ini. Di kampung, Mas bisa merawat sawah dan kebun. Beberapa ternak juga masih ada, kemarin Ningsih yang cerita.”

Pedro beranjak dari dapur. Ia lihat istrinya masih mengelap air matanya dengan kacu. Ia lihat wanita yang ia cintai di kampusnya, yang ia kejar untuk mau menjadi pacarnya, yang ia bawa pergi berkencan tiap hari Minggu. Ia perhatikan betul, wanita yang setia itu. Ia tak mau bekerja lagi selepas kena PHK. “Aku ingin lebih dekat denganmu, Mas,” ujar Zainab ketika kantornya mem-PHK-nya. Ia lihat kerut di dahinya, wanita itu sudah terlihat tua meski belum beranjak dari lima puluh tahun.

Pedro merasa lesu. Dia ingat semua cita-citanya. Tapi kelabu. Buram. Pedro menatap seonggok tumpukan buku. Ia ambil. Debu sudah begitu tebal melapisinya. Tungau sudah banyak memakannya.

“Biarlah dia pergi dengan ceritanya. Kau sudah meracuniku tapi terimaksih pula kau membuatku memunyai khayalan. Meski sekarang aku tak berkhayal,” ucap Pedro memandangi buku-bukunya yang lusuh.

Ia bawa tumpukan itu ke dekat tungku. Satu per satu ia sobek dan dimasukkan ke bara api. Kini, dunianya menjadi bara kenyataan dunia. Ia melebur. Musnah sudah dunianya. Ia masih terkenang bagaimana para temannya mengenalkan buku-buku seperti itu, mereka sukses menjadi penulis koran. Namun, dunianya kini tak seperti yang diangankan seperti dunia bukunya. Ah, dunia…

Zainab mendekap Pedro. Ia menangis dalam pelukan. Keduanya saling memeluk kenyataan. “Besok kita pulang, beternak atawa mencangkul,” suara Pedro pelan di telinganya. Zainab hanya menganggukan dan tanggannya menepuk punggungnya.

Malam telah bergelanyut senyap. Dunia luar masih bergelimang neon-neon iklan. Kafe-kafe hidup dalam dunianya sendiri. Sementara, dunia Pedro terus terbakar dalam tungku itu. Dia membakar semua amarah. “Selamat jalan duniaku…”

Jebres, 28 Februari 2007; 11.00
Direvisi Pamulang, 24 November 2008; 08.30