Kamis, 12 Maret 2009

Kecanduan Pornografi Mengganggu Fungsi Otak

Selasa, 3 Maret 2009 |

Jakarta, Kompas - Paparan materi pornografi secara terus-menerus dapat mengganggu fungsi otak dan kemampuan inteligensia pencandu.

Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Sjafi’i Ahmad dalam seminar bertema ”Memahami Dahsyatnya Kerusakan Otak Anak akibat Kecanduan Pornografi dan Narkoba”, Senin (2/3) di Jakarta, pornografi memicu kekerasan seksual dan menurunkan mutu sumber daya manusia.

Otak merupakan pusat pengaturan perilaku, terdiri dari banyak sirkuit, melibatkan beberapa area yang terbentuk dari proses belajar. ”Anak dan remaja yang kecanduan pornografi akan mengalami gangguan perilaku dan kemampuan inteligensia, merasa senang bila melihat materi pornografi,” kata Ketua Divisi Neurologi Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Yetty Ramli.

Ahli bedah saraf Rumah Sakit San Antonio, AS, Donald L Hilton Jr, menjelaskan, kecanduan mengakibatkan otak bagian tengah depan (ventral tegmental area) mengecil. Penyusutan sel otak yang memproduksi dopamine, zat kimia pemicu rasa senang, itu mengacaukan kerja neurotransmitter, pengirim pesan.

Kecanduan pornografi sama prosesnya dengan kokain dan zat adiktif lain. Paparan pornografi menyebabkan perubahan konstan pada neurotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol. Seseorang yang kecanduan pornografi tak bisa mengontrol perilaku seksnya dan mengalami gangguan memori.

”Kondisi ini tidak terjadi segera, tetapi melalui tahapan dan ditandai tindakan impulsif kecanduan dan perubahan perilaku,” ujarnya. Kerusakan otak akibat kecanduan ini lebih berat dibandingkan dengan jenis kecanduan lain.

Kepala Pusat Pemeliharaan, Peningkatan, dan Penanggulangan Inteligensia Kesehatan Departemen Kesehatan Jofizal Jannis menambahkan, kecanduan pornografi dan narkoba mengakibatkan kegagalan adaptasi sosial. Kecanduan tersebut juga merusak fungsi otak dan struktur otak dengan pola yang sama dengan gejala-gejala adiksi fisiologis karena obat-obatan dan alkohol.

”Tidak seperti adiksi lainnya, kecanduan pornografi tidak hanya memengaruhi fungsi luhur otak, tetapi juga merangsang tubuh, fisik, dan emosi diikuti perilaku seksual,” kata Jofizal.

Bila gangguan perilaku dan kemampuan inteligensia itu meluas, hal itu akan memperburuk kemampuan, kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Hilton menyatakan, pencandu butuh menjalani terapi. Metodenya adalah memotivasi pencandu sehingga mau berupaya terbebas dari kecanduan, menciptakan situasi aman dengan menghambat akses pada pornografi, membentuk grup konselor sebaya, memperkuat spiritualitas.

Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman mengimbau agar para orangtua mewaspadai materi pornografi di berbagai media, di antaranya komik, situs porno, video games, dan media lain. ”Banyak anak melihat materi pornografi justru di rumah sendiri,” ujarnya.

”Pemerintah hendaknya memblokir situs-situs internet yang memuat materi pornografi. Ada beberapa situs pornografi yang menggunakan nama tokoh kartun atau nama binatang yang bisa tanpa sengaja dibuka anak-anak saat mengerjakan tugas sekolah,” kata Elly menegaskan. (EVY)

Senin, 09 Februari 2009

Akhir Sebuah Sandiwara Ayin

[Dimuat pertama kali di Harian Indonesia Business Today, 1 Agustus 2008 dengan judul Detik-detik Vonis Artalyta Suryani. Kemudian saya rombak, pada 24 Desember 2008, sesuai tulisan sebelum masuk ke redaktur dengan judul di atas. Pada berita aslinya, bagian terakhir menceritakan kepulangan Ayin dari Tipikor sampai Mabes Polri, ditulis oleh teman saya, Devi P, maaf saya tidak bisa mencantumkannya karena arsip beritanya hilang – korannya dijual ke tukang loak oleh Pakde saya.]


JAKARTA - GEDUNG Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan, masih terlihat sepi. Belum banyak pegawai yang datang. Jam menunjukkan 07.10 wib ketika Indonesia Business Today tiba. Sesekali ada pegawai berpakaian sipil tergesa-gesa menuju gedung yang dituju. Beberapa polisi berjaga-jaga di sekitar pos penjagaan.

Para Office Boy (OB) pun sudah memulai membersihkan sekitar gedung Bareskrim. Mereka keluar masuk gedung. Jam menunjukkan sekitar 07.30 wib, beberapa pegawai memasuki masjid, dekat gedung Bareskrim, melakukan sholat Dhuha.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil terparkir di depan gedung Bareskrim. Mobil Toyota Yaris, berplat nomor B 279 NN keluaran tahun 2007. Sedan pendek putih itu adalah milik menantu Artalyta Suryani atau Ayin (40), Lani Marisca (25). Ia adalah istri Romy Dharma Satriawan, anak Ayin. Ia datang untuk mendampingi ibu mertuanya pergi ke Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Hari ini (30/7) dijadwalkan pembacaan sidang vonis terhadap dirinya.

Sebelumnya, saat menjadi tersangka Ayin sempat menghuni rumah tahanan (rutan) Penjara Pondok Bambu. Tapi mulai 19 Mei 2008, dia dipindahkan ke rumah tahanan (rutan) Bareskrim Mabes Polri. Artalyta atawa Ayin terjerat dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II yang menyeret pengusaha pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Syamsul Nursalim. Dia berstatus terdakwa setelah terbukti melakukan suap sebesar US$ 660 ribu kepada jaksa Urip Tri Gunawan.

Berselang beberapa menit, sekitar jam 08.00 wib mobil tahanan KPK berplat nomor B 8593 WU tiba. Empat orang turun dari mobil. Dua orang berpakaian hitam-hitam, satu berpakaian hijau lengan panjang dan memakai peci, serta seorang petugas polisi.

Selama lebih kurang 30 menit di dalam gedung Bareskrim, Ayin keluar gendung dengan digandeng Lani. Ia memakai baju lengan panjang warna biru bermotif abstrak. Kemudian dipadu dengan jins biru dongker yang sampai menutup high heel-nya. Menantunya, hanya memakai pakaian hitam-hitam.

Mobil tahanan dan mobil pribadi menantunya telah siap di depan mereka. Muka Ayin dipenuhi senyum. Tak ada beban. Tetap bersolek rapi seperti kebiasaannya. Berbedak cukup tebal, sehingga kulit mukanya terlihat terlalu putih dibanding kulitnya. Alisnya masih seperti biasanya, kecil tapi melengkung tegas di atas matanya. Rambut merahnya dijepit dibagian belakang.

“Bu Ayin, katanya, Gus Dur datang di sidang hari ini ya,”? Indonesia Business Today, mencoba menanyakan perihal kedatangan Gus Dur yang kabarnya diminta datang oleh dirinya. Tidak ada jawaban. Tapi senyuman penuh diberikannya sambil tetap menggaandeng Lani.

“Untuk keperluan apa Gus Dur datang bu,”? kembali Indonesia Business Today, mencoba membuka pembicaraan. Sambil senyum dan melirik, meraih simpati, dirinya menjawab, “Maaf, saya tidak tahu beritanya”.

Ayin duduk di bagian tengah, sendiri. Petugas polisi di samping sopir di depan, dan ketiga lainnya di belakang. Mereka berangkat menuju Tipikor sekitar jam 09.39 wib. Tanpa pengawalan yang terlalu ketat.

JAM menunjukkan sekitar 09.10 wib. Mobil yang membawa Ayin dan menantunya dari Mabes Polri tiba di Pengadilan Khusus Tipikor. Sudah banyak yang berjaga-jaga. Dua mobil polisi ditaruh di depan pengadilan. Lebih kurang satu truk mampu menampung polisi sejumlah 45 orang. Secara keseluruhan, personil yang diambil dari Polsek Setia Budi, sebanyak 111 orang. Dan untuk cadangan 80 orang dikerahkan untuk berjaga-jaga sekitar pengadilan.

Pengadilan begitu sesak. Wartawan baik televisi, internet, maupun cetak tumpah ruah di sana. Begitu pula para pekerja dari perusahaan milik Ayin. Menurut, salah satu pekerja dari Atosim Lampung Pelayaran (ALP) jumlah yang datang hampir 500 orang. Termasuk dari pekerja PT Bukit Alam Surya (BAS) dan Bukit Samudra Perkasa (BSP) yang semuanya masih satu group usaha milik Ayin. Mereka datang mengawal dan mendukung Ayin dalam persidangan. Berangkat dari Lampung sejak subuh dan tiba di Jakarta sekitar pukul sembilan pagi.

Asap rokok mengepul agak pekat. Padahal tertera dengan jelas “Dilarang Merokok” dan “Kawasan Bebas Asap Rokok”. Entahlah, tidak diketahui dengan pasti apakah orang-orang dari pendukung Ayin yang memulai menyulut rokok. Tapi dari penglihatan Indonesia Business Today, banyak pendukung Ayin yang menyulut rokok.

Mereka merokok dengan tanpa beban, meski dalam ruang ber-AC. Sambil menuggu di luar ruang Khusus Terdakwa, mereka bergerombol di pojok ruangan sekitar toilet. Beberapa membentuk pagar betis, melindungi Ayin jika hendak keluar ruangan menuju ruang sidang.

Sesekali bertepuk tangan keras dan mengucapkan, “Bebas.Bebas”, ketika Otto Cornelis Kaligis, pengacara Ayin, keluar ruangan sambil berucap, “Bebas, kan?”

Ketika Indonesia Business Today, hendak mewawancarai orang yang “dituakan”, orang tersebut selalu saja berkelit dan tak mau menjawab setiap pertanyaan. Selalu beralasan dirinya bukan pekerjanya Ayin. Bahkan malah meledek Indonesia Business Today bahwa semua celah tidak bisa dimasuki wartawan. “Semua celah sudah kami tutup,” katanya.

Loyalitas mereka kepada Ayin ditunjukkan dengan sikap yang protektif. Ketika Ayin menuju toilet, mereka membentuk pagar pengamanan sampai Ayin memasuki ruang Khusus Terdakwa kembali. Tapi, loyalitas sepertinya berlinier dengan persoalan uang.

Indonesia Business Today, sempat mendengar perbincangan beberapa dari mereka. Sambil menyatukan beberap jarinya, sebagai simbol uang, mereka berbincang-bicang, bahwa kedatangan mereka juga karena mencari uang. “Mencari ini sambil menepukkan tangannya ke perutnya,” kata salah seorang darinya.

Indonesia Business Today, kemudian, mencoba beramah tamah dengannya, menepuk pundaknya dan mencoba menggali berapa duit yang dibayarkan padanya. Sayangnya, dirinya tak mau menjawab.

Di ruang Khusus Terdakwa, Ayin ditemani dua orang laki-laki, salah satunya

Romy Dharma Satriawan, OC Kaligis, dan Lani Marisca. Di meja ruang Khusus Terdakwa, tersaji tiga botol Aqua di depan Ayin. Tas merah berlapis warna emas ditaruh di sebelah kanannya. Senyumnya masih mengembang seperti di Mabes Polri. Sempat melambaikan tangan ke beberapa orang di luar ruang. Ruang tersebut memang diberi kaca yang lebar jadi semua orang bisa melihatnya. Para kameraman dan fotografer berkali-kali mengambil gambarnya. Beberapa pengawalnya juga beberapa kali mencegah orang-orang yang mendekati kaca.

Sesekali Ayin berbincang-bincang dengan OC Kaligis dan kemudian senyum kembali dan melihat ke arah luar rungan melalui kaca. Menantunya, Lani, malah asyik memainkan kamera saku digital. Dan kemudian, OC Kaligis berpose bersama menantunya untuk diambil gambar. Begitu pula dengan Romy. Cheese..klik!

TAMPAK di persidangan kerabat-kerabat Ayin. Banyak dari mereka yang peranakan Tionghoa. Sekitar pukul 10.45 wib Ayin menuju ruang persidangan. Pengawalan yang ketat. Kamera televisi mencoba mengambil gambar dari dekat. Cahaya dari fotografer berkali-kali berkilat menerpa wajah Ayin. Dirinya langsung menuju kursi terdakwa dengan membawa tas merahnya.

Ditaruhnya tas merah itu di belakang badannya dan duduk menghadap microphone. Ia mulai mendengarkan upacara sidang yang akan dibuka.

Ketua Majelis Hakim, Mansyurdin Chaniago membuka sidang. Dibacakannya putusan vonis yang secara bergantian setelahnya oleh hakim anggota Ugo, Andi Bachtiar, Edward Patinasarani, dan Dudu Duswara.

Selama persidangan Ayin terlihat serius mendengarkan apa yang dibacakan Majelis Hakim. Menatap ke arah Majelis Hakim dengan seksama. Sesekali melihat ke lantai. Ketika dirinya mengelap sudut matanya, cahaya kamera dari fotografer kembali berkilat mengabadikannya. Begitu pula saat dirinya melirik ke arah penasehat hukumnnya di sisi kanan.

Ketika giliran Edward Patinasarani, Ayin mulai tampak lelah. Beberapa kali menunduk dan merenung menatap ke lantai. Sempat membetulkan posisi duduknya dan tas di belakangnya diaturnya kembali.

Hampir membutuhkan 40 menit menyelesaikan bacaan putusan tersebut. Manysurdin kemudian kembali berbicara untuk menegaskan tentang putusan terakhir.

Palu telah diketok. Dan Artalyta atau Ayin dinyatakan bersalah, dijerat hukuman 5 tahun penjara. Serta denda sebesar Rp250 juta kepada Artalyta.

Ayin telah melakukan tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam pasal 5 ayat (1) b UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Tidak Ada hal-hal yang meringankan,” begitu kata Mansyurdin ketika membacakan perihal putusannya.

Mansyurdin kemudian melanjutkan, “Dengan keputusan ini Majelis Hakim memberikan waktu selama tujuh hari untuk mempertimbangkan keputusan. Jika dalam tempo tujuh hari terdakwa (Ayin-red) tidak ada tanggapan, maka dianggap telah menerima dakwaan ini.”

Ayin kemudian menatap ke OC Kaligis. Dan OC Kaligis meminta izin Ketua Hakim Majelis untuk mendekat ke Ayin. Berbincang sebentar dan OC Kaligis kembali ke tempat.

“Saya pikir-pikir dulu,” begitu jawaban yang keluar dari mulut Ayin.

Ayin sempat berkaca-kaca saat keluar dari persidangan. Kameraman mencoba kembali mengambil gambar. Sayang, pengawalan terlalu ketat. Sempat terjadi keributan ketika jalan dipenuhi wartawan. “Saya harus pake bahasa apa,” bentak polisi ke arah wartawan.

Setelah sidang, OC Kaligis sempat memeberikan komentar. “Itu akan dipikirkan selam tujuh hari ke depan. Aneh sekali, ada yang memberatkan tapi enggak ada hal yang memberatkan.”

Begitu juga dengan Romy, anaknya. “Pasrah aja. Kita pikir-pikir satu minggu. Keputusannya dzolim, kita terima aja. Keputusan itu tidak adil. Dari saksi tidak ada bukti yang menguatkan. Ini keputusan paling dzolim.”

OC Kaligis pun menambahkan, “Bu Ayin paling kooperatif. Selama ini kerja samanya paling bagus. Kerja samanya sama orang baik. Dia memang orang baik.” Ayin selama ini dianggap hanya memberikan pinjaman ke Urip Tri Gunawan.

Mengapa tidak langsung banding? OC Kaligis menjawab, itu menurut UU.

Ketika Ayin di ruang Khusus Terdakwa, Ayin langsung dipeluk Lani. Ayin menitikkan air mata. Di ruangan lain, famili dari Ayin ada yang tidak terima, sehingga memasuki ruang jaksa penuntut umum. Tapi, pihak polisi segera mengamankan. Putusan itu, membuat lemas sanak saudaranya.

Basa-basi Al Amin

[Dimuat pertama kali di Harian Ekonomi Indonesia Business Today, 29 Juli 2008. Saya lupa judulnya, arsip koran telah dijual oleh Pakde ke tukang loak. Tapi kemudian saya rubah dan berganti judul itu, pada 24 Desember 2008.]

JAKARTA - JAM menunjukkan 11.24 wib. Laki-laki itu berjalan dengan langkah panjang dan menebar senyum. Kini, rambutnya sedikit panjang di bagian belakang. Langkahnya pasti, seperti tanpa beban. Jepretan kamera wartawan berkali-kali menerpa dirinya. Pakaian batik berwarna hijau motif wajik warna putih dan cokelat membalut di tubuh cekingnya. Begitulah, Al Amin Nur Nasution (36), anggota komisi IV DPR RI.

Ia datang ke sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), (28/7) di Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan diiringi dengan beberapa saudaranya. Ia sebagai saksi atas terdakwa Azirwan, Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan terkait peralihan hutan lindung di Propinsi Kepulauan Riau.

Ketua Majelis Hakim Tipikor, Mansyurdin Chaniago, memulai membuka sidang dengan pertanyaan. “Apakah saudara mengenal terdakwa, Azirwan?”. Al Amin menjawab, tidak. Suaranya agak berat dan pelan.

Al Amin mengatakan, jika dirinya tidak ada hubungan sanak famili dengan Azirwan. Tapi mengenal Azirwan ketika bertemu di Kabupaten Bintan, saat kunjungan kerja ke Kepulauan Riau. Dia menggunakan waktu reses untuk kunjungan kerja guna menerima beberapa aspirasi dari simpatisan partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Majlis Hakim melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP), berkali-kali dibantahnya. Tidak tahu, enggak, tidak pernah, lupa serta tidak ingat, begitu kata-kata yang keluar dari suami penyanyi dangdut Kristina itu. Majlis Hakim pun menjadi berang.

Ketika Mahsyudin Chaniago menanyakan, apa yang dilakukan dirinya ke Pulau Bintan. Al Amin mencoba mengalihkan pembicaraan dan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan kepadanya.

“Anda jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Ini bukan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat-red). Jadi bersifat koopertiflah,” sergah Mansyurdin.

Tapi tetap saja, Al Amin mengaku tidak pernah tahu atau tidak ingat. Ketika diputarkan percakapan antara dirinya dengan Azirwan yang mana disebutkan juga adanya Edy Pribadi, seseorang yang diminta untuk menyerahkan amplop yang berisi uang, dirinya juga membantahnya.

Padahal, pada kesaksian sebelumanya, Edy Pribadi menyatakan bahwa itu adalah benar. Begitu juga Saksi Anisa Gemala (25), sekretaris pribadi Al Amin mengaku, dirinya pernah mendapat titipan sebuah amplop yang diberikan Edy untuk diserahkan ke Al Amin.

“Ya saya pernah diberi titipan dari Edy Pribadi, sopirnya Bu Kristina, sebuah amplop,” begitu kata Setpri Al amin, yang masih mahasiswa itu. Namun, dirinya tidak pernah tahu bahwa itu uang atau surat. Ketika menyerahkan amplop tersebut, dirinya tidak pernah menanyakan isinya itu apa.

“Anda di sini sebagai saksi, sudah disumpah. Kita mengadakan pengadilan Tipikor ini sudah lama. Melekat pada diri saksi yaitu sedang puasa. Biasa puasa Senin dan Kamis atau baru kali ini saja?. Kita boleh terbuka di sini,” demikian ujar anggota Majlis Hakim, Ugo.

Al Amin dinilai Majelis Hakim tidak bersifat kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa kali, anggota Majlis Hakim kesal, dengan jawaban yang tidak menunjukkan jawaban seorang saksi intelektual.

“Keterangan saksi adalah untuk terdakwa. Ada enggak bukti-bukti untuk dipertimbangkan dalam tuntutan. Itu bukan jawaban yang menunjukkan intelektualitas seorang saksi. Nah, Anda dari PPP. Sedikitlah untuk bicara, tidak usah terlalu banyak,” tambah Ugo yang sedikit kesal.

Sementara itu, sambil menuggu kesaksian Bupati Bintan, Anshar Ahmad, Azirwan tampak bertopang dagu, memerhatikan penuh kesaksian atasannya itu. Sesekali dirinya menyandar ke kursi, tampaknya dirinya terlalu lelah. Berbincang sebentar dengan pengacara di sebelahnya, tersenyum dan kembali memerhatikan kesaksian Anshar Ahmad.

Anshar mengaku, dirinya belum pernah mendapatkan laporan mengenai kegiatan-kegiatan Azirwan dengan anggota komisi IV, Departemen Luar Negeri (Deplu) maupun kehutanan.

Seusai Anshar memberikan keterangan saksi, Azirwan dengan agak parau dan terbata-bata, seperti akan menangis mengatakan, minta maaf karena telah mencoreng Pemerintahan Kabupaten Bintan.

Dari kasus pengalihan hutan lindung ini, total uang yang diberikan ke Al amin sebesar Rp.2,25 milliar.

Jumat, 23 Januari 2009

Sepucuk Surat

LEDAKAN itu terjadi ketika aku sedang berada di pintu sebuah toko kaca mata. Suaranya begitu keras, mengagetkan setiap pengunjung di sana. Semua panik. Orang-orang berhamburan keluar gedung, mencoba menyelamatkan diri. Mereka trauma dengan suara bom, takut hal yang sama seperti World Trade Center (WTC), gedung kembar di Amerika Serikat yang dibom para pembajak pesawat terbang. Orang-orang keluar mencari sumber ledakan. Terlihat kepulan asap berasal dari gedung pos perekrutan militer. Sirine mobil polisi mendesing seluruh Times Square, New York. Beberapa pemadam kebakaran telah datang, menerobos kerumunan orang, dan jalan pun ditutup dengan garis polisi.

Seorang sopir taksi yang berada di depan toko, berkata dengan nerocos-nya bahwa telah terjadi serangan bom di pos perekrutan militer. “Oh, God..no..no..,” begitu gumamnya terus. Mungkin dipikirnya itu adalah serangan teroris yang telah meluluh lantahkan Amerika tujuh tahun silam. Aku maklum kalau orang-orang Amerika begitu trauma dengan kejadian WTC itu. Sampai-sampai tiap ada guncangan kecil, mereka selalu keluar gedung. Dan ketika ledakan itu terjadi di Times Square kemarin, semuanya panik dan bingung. Semuanya mencari perlindungan, aku pun juga ikut dalam hamburan kepanikan. Bagaimana tidak ikut panik, jika semua yang ada di dalam toko di Times Square keluar tumpah di jalan.

“Baru saja aku menurunkan perempuan tua itu dan ledakan itu begitu mengagetkanku. Kasihan perempuan tua itu, dia sempat sesak nafas. Penyakit asmanya tiba-tiba kambuh, untungnya dia membawa peralatan di tasnya,” kata sopir taksi itu lagi. Aku lihat mukanya sedikit jengkel. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh umpatan dan aku hanya diam dan tak mendengarkan cerocosan-nya.

Salah seorang di belakangku tiba-tiba menyela, “Aku masih di dalam lift, untung sudah mau keluar dan buru-buru lari keluar gedung kantor. Ledakan itu menggetarkan gedung.” Di samping sopir taksi seorang laki-laki paruh baya, masih memakai celana pendek dan kaus singlet. Mungkin ia masih tidur-tiduran di sofa melihat televisi, sambil menengggak bir dengan makanan berserakan di meja. Aku lihat dia tidak memakai sepatu atau sandal ketika keluar. Jarang-jarang orang New York nyeker keluar kamarnya. Barangkali lampu kamarnya dimatikan dan ketika ledakan itu terjadi dirinya keluar begitu saja tanpa berpikir apa pun. Dan bau birnya sedikit anyir di hidungku.

“Aku pikir guntur. Tetapi, aku melihat banyak asap dan kemudian menyadari itu adalah ledakan. Makanya aku cepat-cepat turun dan kutinggalkan pekerjaan,” kata seorang petugas ledeng. Aku tahu karena petugas ledeng di sana berseragam khusus.

Orang-orang hiruk pikuk mencari tahu. Para pemadam kebakaran sibuk meraih posisi yang tepat untuk memadamkan api, polisi New York atau NYPD mengatur jalan agar tak ada yang memasuki area ledakan. Mereka benar-benar bertindak cepat dengan mengerahkan bantuan sebanyak-banyaknya. Barangkali biar tidak diejek oleh penduduk kota New York, atas slogan di jaket hitam di punggungnya, “Emergency Service Unit”.

Tidak kulihat hal itu di Jakarta, ketika terjadi kebakaran. Mereka selalu datang ketika semuanya sudah roboh dan menjadi arang. Bagaimana tidak terlambat, Jakarta begitu macet dan sumpek. Apalagi jika daerah kebakaran susah dijangkau mobil pemadam kebakaran.

Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalan. Geliat lampu gedung dan pertokoan menyapu Times Square. Seperti tak ada malam, padahal waktu itu sudah petang. Dasar New York, kota yang tak pernah mati. Ketika hujan mulai deras, semua bubar bak semut yang digebyah dengan sapu. Berhamburan masuk toko, ada yang kembali ke kamar apartemennya. Aku pun lari ke apartemenku. Petang itu benar-benar mencekam.

PAGI harinya, aku tak keluar dari kamar apartemen. Kuputuskan hari ini tidak keluar untuk ke kampus, toh tugas kuliahku sudah selesai dan tinggal bertemu dengan Mr. Marshall untuk membicarakan kelanjutan disertasiku. Mungkin lusa baru bisa ketemu.

Aku ambil koran di depan kamar. Semua harian New York, memberitakan ledakan itu. Aku memang berlangganan beberapa koran untuk menambah informasi, biar tidak ketinggalan berita jika diskusi di kampus. Headline koran berbunyi “Kamis Kelabu di Time Square”. Dari pemberitaan koran, ledakan mengakibatkan pos perekrutan militer luluh lantah, beberapa gedung di sampingnya pun ikut hancur dan retak-retak. Tercatat, korban tewas lima puluh orang, kebanyakan orang-orang militer, lainnya, ada yang luka-luka karena terkena pecahan kaca dan tembok yang runtuh.

Tapi ada salah satu headline hanya menulis begini, “Sepucuk Surat Untuk Time Square”. Ketika koran-koran lainnya memberitakan dengan nada provokatif, tapi koran itu beda. Barangkali tim redaksinya tidak ingin membikin penduduk New York dihantui bom tiap waktu, judulnya pun dibuat ringan. Memang, kata teman kuliahku, Ludikov, penduduk New York bosan dan takut membaca koran, karena mereka seperti diteror dengan berita-berita yang simpang siur. Apalagi jika ada pemilihan gubernur atau presiden. Semua koran membuat berita dengan kepentingan masing-masing. Kebanyakan berita ditulis tidak sebagai informasi tapi menghasut pembaca dan menakutinya.

Meski penduduk New York ke mana-mana menenteng koran, tapi yang dibacanya justru entertainment dan iklan. Berita-berita politik hanya selingan saja. Menurut temanku lainnya, James, semenjak kepemimpinan Bush, penduduk sudah membencinya dengan kebijakan perangnya di Irak dan Afghanistan. “Bapak dan anaknya sama saja. Kau tahu kan Bush senior dan junior, sama-sama suka perang. Padahal penduduk Amerika tak pernah setuju dengan kebijakan itu. Kami merasa malu dan dicap sebagai pembuat onar dunia. Padahal kami mencintai umat manusia. Banyak yang mengatakan, orang Amerika itu bengis, tapi tidak semua orang Amerika seperti Bush,” begitu katanya suatu kali aku berdiskusi mengenai teroris.

Memang tidak semua orang Amerika seperti Bush, tapi logika orang-orang negara ketiga tetap saja, orang Amerika itu penjahat. Nalar yang salah bukan? Tapi sampai kapan pun, itu akan tetap berlaku sampai anak cucu. Kecuali Amerika benar-benar musnah dari bumi ini, batinku.

Berita koran itu mengatakan, sepucuk surat dikirimkan ke kantor anggota Kongres setelah terjadi ledakan. Isinya ada sebuah foto dan bertuliskan kalimat,”Kami yang melakukan peledakan”.

Disebutkan katanya amplop karton itu, berisi foto seorang laki-laki yang berdiri di depan kantor perekrutan sebelum di bom. Surat itu semacam kartu ucapan selamat tahun baru. Selain foto ada beberapa lembar kertas yang berisi sebuah manifesto politik yaitu menentang kebijakan gubernur New York persoalan pembersihan orang-orang Rusia. Katanya, orang-orang Rusia di New York tidak benar-benar bekerja, tapi sedang melakukan mata-mata. Makanya, beberapa waktu lalu, hubungan Amerika-Rusia sedikit meruncing.
Aku tinggalkan koran-koran itu. Ku nyalakan televisi, acaranya pun masih seputar ledakan itu. Ku pindah chanel tivi ke acara musik. Volume ku keraskan supaya bisa terdengar sampai dapur. Ketika aku hendak ke dapur, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetok pintu beberapa kali.

Dua orang berseragam polisi, sudah ada di depan pintu. Sambil menunjukkan kartu identitas, mereka masuk dan melihat sekeliling seperti mencari sesuatu. Aku bingung dan ku cegah mereka ketika mau masuk ke ruang pribadiku.

“Tunggu, mister! Ada apa ini?” kataku.

Where is he?” kata polisi yang gemuk sambil mengambil pistolnya.

“Laki-laki mana, hanya ada saya di sini. Saya hanya mahasiswa dari Indonesia.”

“Jangan berbohong, hei Indonesia. Tak usah pura-pura. Dia berbahaya. Ludovik kau tahu nama itu!” Kali ini polisi yang kurus membuka suara dengan membentak.

Mendengar nama Ludovik, aku jadi teringat dengan berita di koran, sepucuk surat yang berisi manifesto politik orang-orang Rusia terhadap kebijakan gubernur New York. Barangkali mereka mencarinya, dikiranya dia bersamaku, batinku.

“Ya, aku tahu dan kenal dia. Dia teman sekelas ku, orang keturunan Rusia dan sudah menjadi warga negara Amerika, bukan?”

“Memang dia Amerika sekarang, tapi dia masih punya kakak yang berkomplot dengan pembom di Times Square petang kemarin. Jadi kami mencarinya, di mana dia? Lebih baik kau bantu kami, jika tidak ingin ada masalah, Indonesia? Kata yang gemuk sambil matanya menciring di mukaku. Sementara yang kurus keluar masuk kamar, menggeledah setiap sudut. Kepalanya menggeleng ke arah temannya, menandakan tidak ada yang dicari. Mereka kemudian menyarungkan pistolnya.

“Oke. Tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri di sini.”

Mereka memberiku sebuah nomor telepon, supaya aku melaporkan jika ada Ludovik atau kabar dari kakaknya. Mereka pergi tanpa mengucapkan, sorry atau kata maaf lainnya. Melenggang begitu saja.

Begitulah, polisi New York itu menyebalkan dan tak tahu diri. Seenaknya masuk kamar orang dan menggeledah setiap sudutnya. Apalagi jika orang yang digeledah adalah orang luar dari negara-negara berkembang. Mereka selalu menyudutkan dan memaksa orang itu bersalah dan mengakui apa yang ditanyakan oleh polisinya.

“Polisi tolol,” kataku sambil menuju kamar mandi. Kertas itu pun kulemparkan bak sampah.

Kampung halaman, 23 April 2008

Dunia

ADZAN Magrib baru saja usai. Gerobak itu meluncur pelan di jalan tanah becek, berkerikil, dan penuh serakan sampah plastik. Mendekati gubuk lusuh, ia pinggirkan gerobak menjorok ke dalam. Lelaki itu menahan batuk yang makin parah. Hawa memang menusuk tulang. Semribit. Dingin.

Gubuk itu beratap seng plastik warna biru dan sudah gumpil-gumpil di bagian tepinya. Terdengar suara perempuan berdehem. Lampu badai baru saja menyala, memberi kehangatan mereka. Lelaki itu ke belakang, membersihkan diri dan bergegas sholat Magrib. Perempuan tadi menyibukkan diri di belakang, layaknya perempuan lain ketika suaminya pulang. Memberi teh hangat atawa makanan. Ia membuat api di tungku. Tak lama kemudian, ia membawa teh hangat ke amben.

Lelaki itu senyum melihat istrinya sibuk menyiapkan makan malam. Dalam hati, lelaki itu mengira ada makanan yang dapat ia santap malam ini. Sedari siang tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Untung paginya, dia diberi makanan oleh temannya.

Ia pergi ke dapur. Dibukalah panci itu. Ia terbelalak. Mukanya yang tadi senyum berubah lesu. Ia terduduk lemas di dekat tungku, masih memegang tutup panci. Batu-batu kerikil yang dikiranya masakan itu masih tetap seperti semula. Hanya asap yang keluar disela-sela batu-batu itu.

“Barangkali Tuhan memang sengaja tak memberikan kita anak. Aku tak bisa bayangkan bagaimana nasib mereka jika aku tak ada,” kata Pedro sambil menerawang sekeliling gubuknya itu.

“Kenapa juga aku dulu menolak jadi pegawai bank. Dunia…”

Istrinya, Zainab, tertunduk lesu mendengar suaminya berkata seperti itu. Ia kasihan melihat suaminya kerja seharian hanya teh hangat yang dijumpainya. Tangisnya hampir pecah, tapi masih bisa ia tahan. Air matanya perlahan menetes keluar membasahi pipi keriputnya.

“Kalau kau terima lamaran Yudha, pilihan ayahmu, yang kini sudah jadi pegawai negeri tentu kau tak susah-susah menanak batu seperti ini.”

Pedro pun tertunduk memeluk pahanya. Angin mendesir.

“Apa yang akan aku katakan pada ayah ibu kelak di akhirat sana. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan perkataanku dulu,” desis Pedro.

“Dunia…”

PEDRO hampir saja membanting tutup panci itu ke atas tungku. Namun ia urungkan dan membaca istighfar berkali-kali. Ia menangis. Dadanya berdegup tak keruan. Ia menyesal jika mengingat waktu dirinya berani melamar Zainab.

“Beri kami alasan yang kuat mengapa kami harus menerimamu,” ucap Ayah Zainab.

“Saya tak berani berjanji. Tapi dengan pengetahuan dan ilmu yang saya dapatkan, saya bisa menulis dengan menjadi wartawan,” jawab Pedro.

“Aku tak yakin kau mampu menghidupi putriku. Aku tak rela jika harus terlantar. Tapi aku hargai usahamu. Jika melihat pendidikanmu aku cukup yakin tapi dengan kerja kerasmu aku masih sanksi. Anak muda jaman sekarang, jarang yang mau bekerja keras, mintanya instan,” ujar Ayah Zainab.

“Ibu hanya berpesan jadikanlah dirimu tetap bertapak di bumi, anakku. Biar dirimu mengerti hidup. Ibu bukan menyerah pada umumnya orang, memang sampai saat ini masih ada idealisme yang seperti yang kau punyai,” giliran Ibu Zainab menambahi

Kata-kata itu seakan menusuk dan menghujam Pedro terlalu dalam. Sakit. Perih. Pedro tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia sesenggukan mengingat itu. Ia terlalu berani dengan kata-katanya, tapi dunia tak seperti yang dibayangkan Pedro. Dunia yang dibayangkan Pedro seperti dalam buku-buku cerpennya, filsafatnya, pikiran-pikiran ideal penulis ‘pembohong’. Pedro terjebak dalam dunia awang-awang. Kinia, Ia terlindas dalam dunia yang serba uang dan intrik.

Memang Pedro pernah menjadi wartawan selepas kuliah. Dengan keyakinannya, ia nikahi Zainab. Zainab pun bangga punya suami seperti Pedro yang intelektual. Ia hidup mengontrak di Jakarta. Selama setahun, ia bertahan menjadi wartawan. Ia tak betah dengan kondisi kantornya yang hanya mencari oplah saja, tanpa melihat kondisi beritanya. Berita ‘menyerang’ pemerintah yang tak logis dan diterima nurani Pedro. Berita yang dibikin-bikin. Mau jadi apa dunia jika rakyat dicekoki berita seperti itu, kata Pedro suatu kali. Kantornya meminta berita lebih dalam dan beda dengan yang lain, dalam waktu sehari atawa tepatnya dalam hitungan jam. Bagaimana mungkin melakukan investigasi dalam sehari, kata Pedro, mereka sudah salah kaprah soal investigasi. Pedro terus mengumpat-umpat cara kerja kantornya. Uang makan yang tak kunjung diberi selama lima bulan terpaksa membuatnya hengkang. Ia putuskan cari tempat lain dan menulis lepas.

Beberapa kantor ia beri lamaran. Beberapa memanggilnya untuk interview. Tapi tak ada kata sepakat. Ia kemudian menulis artikel dan cerpen ke beberapa media selama tiga bulan; tak ada yang dimuat. Sementara uang tabungan makin lama makin terkikis. Ia hampir putus asa. Ia tak mengerti apa yang membuat redaktur itu tak memuatnya, kata Pedro. “Sesibuknya redaktur aku tahu seperti apa,” Pedro terus mengumpat. Ia berpikir yang dimuatnya hanya yang dikenal redaktur, satu komunitas, atawa aktif di komunitas sastra. Ah, apa harus ikut komunitas seperti itu, protes Pedro.

Usaha Pedro sudah penuh – tak ada hasil tambahan uang. Satu per satu perabotannya ia jual. Tapi ia masih malu kerja lainnya. Rasa malu yang merundungnya menimbulkan hasrat dalam dirinya mengidap rasa benci terhadap kebenaran yang menyalahkannya dan meyakinkan dia akan kesalahan-kesalahannya. Zainab melihat suaminya putus asa. Ia bangkitkan pelang-pelan. Ia begitu sabar menemaninya. Pedro pun terpaksa melemparkan malunya bekerja sebagai tukang sablon. Sedikit-sedikit ia tahu karena pernah ikut nyablon tempat temannya dulu saat kuliah. Tapi tak seberapa uang yang didapat. Ia masih tergerus utang ini itu. Utangnya yang banyak membuat kontrakan dilepasnya. Dan ia putuskan tinggal di gubuk belakang kantor sebuah bank, atas saran temannya di sablonan. Ia benahi dan cukup layak untuk berdua. Zainab tak pernah mengeluh apalagi menangis melihat kondisinya seperti itu. Ia yakin suaminya bisa mencari penghasilan. Toh, hanya berdua. Ia sudah tak berharap lagi punya anak. Zainab tak tahu siapa yang mandul. Suatu kali Zainab pernah sekali meminta Pedro menghubungi Ayahnya, saat masih hidup, untuk meminjam uang. Tapi Pedro menolaknya, katanya ia malu kalau harus bersandar pada mertua. Zainab pun pasrah. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dicapai suaminya itu. Pulang ke kampung dia tak mau, tapi kondisi sudah begitu parah. Aku pasrah padamu Ya Allah, kata Zainab tiap malamnya.

“Kau tak malu kan Zainab, kita berteduh di gubuk ini,” kata Pedro saat pertama kali tinggal di gubuk itu.

“Cukup suami yang setia menemaniku. Itu lebih dari segalanya,” cetus Zainab.

BAGI Pedro senyaman-nyamannya orang adalah yang mempunyai rumah sendiri. Meski gubuk itu tidak dibenarkan oleh pemerintah. Bagi Pedro gubuk itu sudah menjadi rumahnya sendiri. Pedro tak bisa membayangkan hidup tanpa rumah. Mendirikan bangunan di tanah Jakarta begitu susah. Ada yang mendompleng bangunan gedung bertingkat, di bawah jembatan layang, sepanjang rel kereta dan mentok-mentoknya paling di bantaran kali Ciliwung. Sementara yang legal pun rumit mengurusnya, ditambah biaya yang tidak sedikit, mana cukup penghasilan seorang Pedro yang hanya seorang buruh, tiap hari kerja serabutan seadanya.

Dimulainya hari kerja ketika subuh tiba. Setelah tak di sablonan – karena sepi pesanan – ia milih menjadi pengantar susu. Ia kerjakan sampai sekitar pukul delapan. Setelah itu, ia pergi menjadi pemulung mencari barang-barang bekas yang bisa dijual pada pengumpul dan dilakukannya sampai hampir maghrib tiba. Terkadang pekerjaan itu tak rutin dilakukannya. Pekerjaan mulung ia kerjakan saat butuh uang untuk kebutuhaan mendesak. Dalam satu hari pekerjaan bisa berubah-rubah dari pengantar susu, pemulung, penjual koran, menjadi kuli atau penjual air bersih. Dan semuanya bukanlah pekerjaan tetap; hari ini dengan besok pun tak sama kerjaannya. Paginya menjual koran, sorenya menjadi pemulung sampai habis magrib. Namun, besok mungkin menjadi pengantar susu saja. Begitulah Pedro dalam hidupnya. Semuanya dilakukan demi istrinya, meski sudah duapuluh tahun menikah dan belum dikarunia seorang anak.

“Tak pernah sedikit pun Tuhan memberikan kesulitan yang melebihi kemampuanmu, Mas,” tiba-tiba Zainab menyahut dari dalam. Suaranya masih serak. Ia mengerti suaminya menangis, makanya ia ingin bangkitkan lagi semangatnya.

Keduanya terdiam sesaat. Sesekali suara sepeda motor melewati gubuknya. Lampu badai bergoyang diterpa angin.

“Tak perlu dibuat beban apa yang akan Mas sampaikan kelak, yang jelas, Mas perlu kesabaran. Kalau pun kita diusir dari sini, semoga kita cukup uang untuk pulang. Rumah ayah masih ada. Kemarin, aku menyurati Ningsih, ia yang selama ini merawatnya,” tambah Zainab.

Pedro masih sesenggukan di dapur.

“Tapi…”

“Tak usah dirundung malu. Bebaskan semuanya, Mas. Kita terima saja kebenaran ini. Di kampung, Mas bisa merawat sawah dan kebun. Beberapa ternak juga masih ada, kemarin Ningsih yang cerita.”

Pedro beranjak dari dapur. Ia lihat istrinya masih mengelap air matanya dengan kacu. Ia lihat wanita yang ia cintai di kampusnya, yang ia kejar untuk mau menjadi pacarnya, yang ia bawa pergi berkencan tiap hari Minggu. Ia perhatikan betul, wanita yang setia itu. Ia tak mau bekerja lagi selepas kena PHK. “Aku ingin lebih dekat denganmu, Mas,” ujar Zainab ketika kantornya mem-PHK-nya. Ia lihat kerut di dahinya, wanita itu sudah terlihat tua meski belum beranjak dari lima puluh tahun.

Pedro merasa lesu. Dia ingat semua cita-citanya. Tapi kelabu. Buram. Pedro menatap seonggok tumpukan buku. Ia ambil. Debu sudah begitu tebal melapisinya. Tungau sudah banyak memakannya.

“Biarlah dia pergi dengan ceritanya. Kau sudah meracuniku tapi terimaksih pula kau membuatku memunyai khayalan. Meski sekarang aku tak berkhayal,” ucap Pedro memandangi buku-bukunya yang lusuh.

Ia bawa tumpukan itu ke dekat tungku. Satu per satu ia sobek dan dimasukkan ke bara api. Kini, dunianya menjadi bara kenyataan dunia. Ia melebur. Musnah sudah dunianya. Ia masih terkenang bagaimana para temannya mengenalkan buku-buku seperti itu, mereka sukses menjadi penulis koran. Namun, dunianya kini tak seperti yang diangankan seperti dunia bukunya. Ah, dunia…

Zainab mendekap Pedro. Ia menangis dalam pelukan. Keduanya saling memeluk kenyataan. “Besok kita pulang, beternak atawa mencangkul,” suara Pedro pelan di telinganya. Zainab hanya menganggukan dan tanggannya menepuk punggungnya.

Malam telah bergelanyut senyap. Dunia luar masih bergelimang neon-neon iklan. Kafe-kafe hidup dalam dunianya sendiri. Sementara, dunia Pedro terus terbakar dalam tungku itu. Dia membakar semua amarah. “Selamat jalan duniaku…”

Jebres, 28 Februari 2007; 11.00
Direvisi Pamulang, 24 November 2008; 08.30